Bunda Kartini bukan Pembela Perempuan

Yusuf Fadlulloh
5 min readDec 29, 2023

--

RA Kartini (tengah) bersama orang tua dan saudara-saudaranya. (Dok. Wikimedia Commons)

Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat, sering dielu-elukan sebagai endorser emansipasi wanita. Berkat keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di masa lalu Indonesia yang gelap, manusia milenial dengan lantangnya menobatkan R. A. Kartini sebagai founding mothers feminisme di Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum jika praktik diskriminasi kepada perempuan di Indonesia saat zaman penjajahan menjadi hal yang tidak bisa terhindarkan, sekeren apapun perempuan saat itu, dia akan tetap menempati posisi runner up di stratifikasi sosial. Hakikat perempuan yang hanya sebatas pemenuh kebutuhan domestik dan pemuas birahi kaum lelaki saja menyebabkan ruang lingkup interupsi perempuan sangat terbatas, walau hanya untuk sekadar menyuarakan penderitaan fisiologis dan psikologis yang mereka rasakan. Tidak berhenti di situ, haramnya restu sekolah untuk menerima kehadiran kaum hawa di lingkungannya juga semakin mempertebal penderitaan cewek-cewek di masa masa kolonial.

Pendidikan selayaknya buah zakar, hanya laki-laki yang boleh memilikinya. Keterbatasan jangkauan pendidikan ini menciptakan efek kupu-kupu yang akhirnya memvonis perempuan hingga akhir hayatnya hanya boleh melakukan tiga hal: macak, masak, lan manak. Akumulasi tragedi yang terjadi membuat mayoritas nenek moyang kita terpaksa menerima konsesuensi hukuman atas dosa yang tidak pernah mereka lakukan.

Di tengah carut-marutnya tatanan dunia ini, di akhir abad 18 lahirlah Kartini, cucu dari Bupati Demak. Pangeran Ario Tjondronegoro adalah salah satu dari segelintir bupati yang mendidik anak-anaknya tanpa memilahnya berdasar jenis kelamin. Sebelum meninggal, dia berwasiat kepada putra-putrinya supaya tetap menjaga pendidikan, karena menurut Pangeran Ario, jika anak-anak tidak mendapat pendidikan, kesenangan tidak akan didapatkan dan keturunan akan semakin mundur.

Berkat mindset kesetaraan yang kental dari kakeknya, Kartini tumbuh agak berbeda dari kebanyakan perempuan sebayanya, dia menjadi cewek “cerewet” yang tidak segan menampis ketidakadilan yang menimpa kaum sebangsanya. Kartini mengunggah buah pemikirannya di beberapa media cetak berbahasa belanda berkat bantuan kroni-kroni bulenya, rekan Kartini mendukung penuh dan memberikan fasilitas tanpa syarat atas apa yang diperjuangkan oleh sang calon pahlawan.

“Sebagai orang Jawa, adat sopan-santun sangat njelimet. Adikku harus mbrangkang bila berjalan di hadapanku. Jika adikku duduk di kursi, saat aku lewat, dia harus segera turun ke tanah, membenamkan kepalanya, sampai bayanganku hilang tidak terlihat. Adik-adikku tidak boleh ber-kamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh memanggilku menggunakan bahasa kromo inggil. Patah kalimat yang dilantunkan wajib diakhiri dengan sembah. Merinding jika kita terjebak di dalam keluarga ningrat. Mengbrol dengan yang lebih tinggi kastanya harus halus dan pelan, sampai-sampai orang terdekatnya saja yang sanggup mendengar. Para gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang dan disebut ‘kuda liar’ itulah yang kami lakukan di setiap detik umur kami”

(Kutipan surat R. A. Kartini untuk Stella, 18 Agustus 1899)

Kartini sempat senang karena ayahnya menyanggupi untuk mendirikan sekolah gadis di kabupatennya, namun pembangunan sekolah itu batal terwujud karena ayah Kartini menderita sakit parah. Gagal menjadi guru di sekolah gadis, tekadnya bermanuver ke arah kedokteran. Permohonan beasiswa kedokteran Kartini dikabulkan oleh pemerintah Belanda, tetapi beasiswa itu datang lebih lambat dari tanggal pernikahannya. Karena eman dengan beasiswa yang sudah didapatkan, dengan sukarela Kartini menyerahkan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim. 25 tahun perjalanan panjang untuk umur pendek yang ternyata berdampak besar terhadap emansipasi wanita Indonesia. Meski masih menjadi perdebatan Kartini wafat atau “diwafatkan”, faktanya Kartini yang berani speak up berhasil membuat cewek-cewek penerusnya melek, gerakan-gerakan wanita mulai bermunculan setelah Kartini menutup usia di saat ranum-ranumnya.

Sesuai esensi perjuangan anak bangsa, arah perjuangan Kartini ternyata bukan hanya untuk keuntungan kaumnya semata, walau teritorial perjuangannya terbatas di Jepara dan Rembang saja, sesungguhnya Kartini berdarah-darah untuk kepentingan bangsanya secara universal dan tidak memandang jenis kelamin. Bukti bahwa Kartini memperjuangkan keadilan kepada semua bangsa yang tertindas adalah usahanya mendidik semua anak yang ada di sekitarnya, tanpa peduli mereka dari golongan priyayi, atau rakyat jelata biasa. Kesadaran tingkat tinggi itulah yang berhasil menciptakan kader pejuang hebat, penerus estafet Kartini lahir berkali-kali dengan visi dan misi yang sama “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Gerakan cewek-cewek mendapatkan dukungan penuh saat Indonesia baru saja merdeka, Ir. Soekarno memberikan pengajaran keperempuanan dan perjuangan kepada kaum hawa. Bahkan, di orde ini terbentuklah gerakan perempuan yang viral dengan istilah Gerwani, organisasi yang aktif serta berprogres menjadi narahukum atas isu-isu perempuan. Gerwani juga menceburkan diri ke ranah politik, dengan itu terbentuklah jaringan yang terkonsolidasi dalam memperjuangkan kebutuhan sosial perempuan.

Di orde setelahnya — mungkin Bunda Kartini akan murka jika masih hidup di masa Orba — kaum perempuan kembali masuk ke kubangan kelam yang terulang. Sang jendral yang naik tahta mengebiri kebebasan pergerakan rakyat-rakyat yang dianggap “bising” dan kakehan polah. Gerwani tidak bisa lari dari dampak gaya hidup feodal sang jendral, organisasi perempuan itu bernasib sama dengan organisasi berisik yang lain, disingkirkan dan dihilangkan begitu saja. Di masa ini, derajat perempuan yang hampir terangkat kembali dipelorot paksa, citra perempuan yang sudah membaik dikembalikan lagi sebagai sebatas ibu dan istri yang semata hanya sanggup berada di samping bahkan di belakang kaum laki-laki. Hasilnya, patriarki sedikit demi sedikit kembali melanggengkan diri di semua kalangan warga Indonesia.

Tumbangnya orde kedua menjadi titik balik para gerakan penegak keadilan kembali bisa bersuara, terutama kaum perempuan. Sekat-sekat dan limitasi terhadap perempuan runtuh berbarengan dengan runtuhnya kerajaan sang jendral yang keranjingan dengan kekuasaan, tragedi dan trauma yang terjadi di masa orde kedua membuat barisan pergerakan semakin kuat dan bergairah. Sesuai dengan semboyan Kartini “Habis gelap terbitlah terang” harapan kembali muncul, kaum anti ketidakadilan bisa pulih lagi. Penindas hancur menghadap kegelapan, yang tertindas bersinar tak karuan.

Sampai saat ini gerakan feminisme semakin berkembang pesat, para kaum hawa di masa sekarang sudah lebih fleksibel dalam melangkah. Isu-isu penindasan kaum perempuan sudah sangat jauh berkurang jika dibanding satu-dua abad yang lalu, perlindungan terhadap perempuan juga sudah lebih terjamin. Pendidikan juga sudah tidak anti perempuan, sudah banyak cewek-cewek yang bergelar doktor dan profesor. Yaaa, meskipun saking bebasnya, di masa sekarang banyak juga perempuan yang tanpa sengaja — atau dengan sengaja— malah merusak kehormatan kaumnya sendiri.

Tanpa menjadi penjual nasi goreng pinggir jalan, tukang parkir, tukang becak, penggali kubur, dan lain-lain, esensi kesetaraan gender terhadap perempuan sudah tercapai. Apa yang dicita-citakan oleh bunda Kartini sepertinya bisa dikatakan sudah tercapai, kehormatan kaum perempuan sudah menempati posisinya dengan sempurna. Lalu, bisakah para perempuan tetap mempertahankan kehormatan itu?

--

--